Pages

Senin, 20 Desember 2010

Fakta dan Realita

Babbie (1989) pernah mengatakan adanya dua realitas di dunia sekitar kita. Yang pertama adalah realitas eksperimensial (experimential reality), dan yang kedua adalah realitas penyetujuan (agreement reality). Yang pertama orang mengetahui realitas sebagai akibat dari pengalaman langsung orang tersebut dengan dunianya, sedangkan yang kedua realitas sebagai akibat dari kabar (informasi) orang lain yang dia terima dan orang lain serta dirinya sendiri pun turut mendukung (setuju atau membenarkan) adanya realitas dimaksud.
Dunia realitas eksperiensial lebih mudah diyakini kebenarannya, juga segala peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa tersebut lebih mudah dilihat melalui indera kita. Namun dunia realitas penyetujuan lebih sulit dibuktikannya. Benarkah rakyat Palestina selalu ditekan oleh penguasa Israel? Benarkah terjadinya gerhana bulan karena sebagai akibat terhalangnya sinar matahari yang menyorot bulan oleh bumi?, dan contoh terakhir, benarkah tahun 2008 terjadi krisis ekonomi global?. Semua peristiwa tersebut nyata adanya dan benar pula kejadiannya, namun orang tidak bisa langsung mengenalnya (merasakannya) secara inderawi. Kita sepenuhnya percaya (dan membenarkannya) berita-berita tadi melalui orang lain. Namun tuntuk menambah tingkat kepercayaan kita akan peristiwa-peristiwa tersebut, diperlukan logika dan tingkat penalaran tertentu (baca: tinggi) sehingga menjadi paham akan kejadiannya atau kebenaran realitasnya.
Contoh yang mudah dan bisa dilakukan oleh semua orang adalah, bengkoknya sebatang kayu jika sebagian dimasukkan ke dalam air asal tidak tegak lurus memasukkannya. Benarkah tongkat tadi betul-betul bengkok? Tidak. Bengkok yang terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan berat jenis antara udara dan air. Bengkoknya tongkat kayu tadi adalah suatu realitas, suatu kenyataan. Namun apakah faktanya demikian?
Dari sedikit gambaran dalam mengenal realita seperti itu maka sebenarnyalah bahwa untuk mengetahui segala sesuatu yang terjadi di luar lingkungan kita, diperlukan logika dan tingkat berpikir yang memadai, yang dalam pelaksanaannya diawali dengan cara bertahap dan runtut sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual. Di sanalah bedanya antara orang awam dengan ilmuwan. Kalau ilmuwan menganggap atau mengetahui bahwa gerhana matahari terjadi sebagai akibat terhalangnya sinar mata hari yang jatuh ke bumu, terhalang oleh bulan, maka orang awam (antara lain sejumlah anggota masyarakat di suatu desa) menganggapnya bahwa matahari sedang dimakan raksasa, dan oleh karena itu rakyat dianjurkan untuk memukul kentongan supaya bulan segera dimuntahkan kembali. Demikian tingginya tingkat penalaran yang dibutuhkan untuk mengetahui peristiwa yang sebenarnya sehingga tidak semua orang mengetahui fakta yang sebenarnya.
Di situlah pula ada perbedaan tertentu antara kaum awam dengan ilmuwan dalam mengetahui segala sesuatu yang berada di sekitarnya. Orang awam tidak banyak menggunakan logika berpikir ‘canggih’ dalam menghadapi segala peristiwa di sekitarnya. Sementara ilmuwan selalu berusaha untuk memahami sedalam-dalamnya peristiwa yang dihadapinya.
Dalam usaha mencari tahu itu, sebenarnya diperlukan dua bentuk realitas tadi. Ilmuwan menggunakannya sebagai dukungan terhadap usaha pemahaman yang dibutuhkannya, baik melalui pengalaman langsung (empiris) maupun melalui pengalaman tidak langsung yang didukung oleh logika berpikir yang dimilikinya. Di dunia filsafat dikenal dengan sebutan epistemology yang bertindak sebagai ilmu tentang pengetahuan, sedangkan metodology (sebagai bagian dari epistemologi) lebih sebagai the science of finding out (ilmu mencari tahu). (Babbie, 1989).
Buku ini mencoba membicarakan konsep yang terakhir tersebut (metodology) di atas yang diterapkan dalam lingkungan sosial. Bagaimana seorang ilmuwan, atau setidaknya pemerhati masalah-masalah sosial mencari tahu mengenai peristiwa-peristiwa sosial dan fakta sosial. Dari pengetahuannya mengenai realita dan fakta sosial itulah, para ilmuwan bisa menjelaskannya secara ilmiah untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia.
Sedikit berbeda pengertiannya antara realitas sosial dan fakta sosial. Kalau realitas adalah objek atau gejala atau kenyataan yang terpersepsikan oleh indera, maka fakta adalah kenyataan itu sendiri yang tidak ditentukan oleh persepsi manusia. Tongkat kayu yang secara realitas adalah bengkok jika dimasukkan ke dalam air dengan mengambil sudut tertentu, maka faktanya tidaklah demikian. Tongkat tadi tetap lurus, tidak bengkok seperti tampak oleh mata kita. Tampak bengkok karena dipengaruhi oleh perbedaan berat jenis antara air dan udara di atas permukaan air, serta dipengaruhi juga oleh keterbatasan indera kita.
Dalam dunia sosial dikenal dengan realitas sosial dan fakta sosial. Keduanya mempunyai makna yang pada dasarnya sama, yaitu sama-sama berupa kenyataan yang sebenarnya. Hanya yang terakghir ini sudah didukung oleh pengamatan tertentu, sudah teruji atau terbukti nyata adanya. Dengan kata lain, fakta lebih menunjukkan kepada sesuatu yang sudah diamati, kata Babbie (1989:55). Sementara realitas belum seperti itu.
Fakta sering dikaitkan dengan istilah dalil atau hukum, yang merupakan suatu generalisasi menyeluruh tentang sekelompok fakta. Sedangkan teori merupakan penjelasan tentang seperangkat fakta dan dalil secara sistematik. Fakta juga sering dikaitkan dengan pengertian paradigma yang lebih berarti sebagai suatu skema atau model mendasar yang mengorganisasikan pandangan kita tentang suatu objek, peristiwa, atau tentang unsur-unsur tadi.
Dalam ilmu, pencarian kebenarannya diusahakan sampai kepada terujinya atau terbuktinya realitas sosial menjadi fakta sosial. Jadi tidak cukup hanya dengan anggapan sekenanya.
Adanya kecenderungan para ibu di kota-kota di jaman sekarang enggan untuk menyusui anak-anaknya dengan air susunya sendiri (ASI) dan lebih senang menggantikannya dengan susu sapi, adalah suatu realitas sosial. Adanya perilaku nanarkis sekelompok anggota masyarakat terhadap pihak-pihak tertentu di kalangan mereka sendiri, juga merupakan realitas sosial. Satu lagi contoh, banyaknya peristiwa main hakim sendiri (menurut penulis lebih tepat disebut main hakim bersama-sama) di kalangan masyarakat kita dewasa ini, adalah juga sebagai realitas sosial. Semua itu menunjukkan realitas sosial. Faktanya tidak selamanya sama dengan yang tampak di permukaan. Untuk melihat faktanya yang sebenarnya, bisa dilakukan melalui pengamatan yang saksama dan teliti. Melalui studi dengan menggunakan metode tertentu yang tepat, nantinya bisa diketahui fakta yang sebenarnya, apakah memang demikian kejadiannya, atau hanya sekadar fenomena sosial yang sedang muncul ke permukaan. Pengamatan yang saksama juga bisa mengungkapkan secara komprehensif realitas-realitas sosial menjadi fakta sosial.
Kata buku, juga media massa, bulan terdiri atas sebongkah batu besar. Tidak ada tumbuh-tumbuhan dan air seperti layaknya di bumi. Ukuran gravitasinya pun hanya sekitar seperenam gravitasi bumi, sehingga jika seseorang mampu meloncat setinggi satu meter di bumi, maka orang tersebut akan mampu meloncat setinggi enam meter di bulan. Itu juga sebuah contoh realitas yang tidak mungkin bisa diamati secara langsung oleh semua ilmuwan. Namun toh orang percaya bahwa faktanya memang seperti itu, sebab percayanya ilmuwan menggunakan tingkat logika yang relatif tinggi, tidak sekadar percaya karena taklid atau percaya tetapi tidak mengetahui alasan kepercayaannya itu.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

SEPERTI YANG AKU RASAKAN , PERIHAL FAKTA BAGI MEREKA MEMAHAMI SESUATU YANG BAGIKU ITU HANYA REALITA ???

adis ababa mengatakan...

Fakata itu hal yang sebenernya, realita hanya ilusi saja.

Posting Komentar